Featured Slider

Memahami Sawang Sinawang Sebagai Sebuah Kewajaran


Seiring dengan bertambahnya usia saya menyadari bahwa rumput tetangga tidak selalu lebih baik. Ada banyak hal yang mungkin dirahasiakan agar rumput-rumput tersebut terlihat lebih hijau dibandingkan rumput di taman rumah kita sendiri atau kita memang tidak memiliki taman sehingga wajar kalau tidak bisa menanam rumput. Tetapi apa yang tidak kita miliki saat ini, terkadang dianggap sebagai ketidakmampuan kita untuk meraihnya, kekurangan dalam diri kita sehingga kita tidak setara dengan taman tetangga yang lebih hijau. Padahal ketiadaan taman di rumah kita diakibatkan pelebaran carpool karena mobil di rumah kita ada lebih dari satu. Ilustrasi tadi bermaksud memberi wawasan bahwa terkadang kita hanya fokus pada apa yang ingin kita lihat dan apa yang kita percaya saja, sehingga menutup kemampuan kita untuk melihat kemungkinan lainnya.

Tentang Specialty Coffee

Photo by nousnou iwasaki on Unsplash

Kamu mungkin pernah datang ke coffee shop dan melihat deratan canister yang berisi biji kopi dengan label yang tertera dari bermacam-macam tempat, daerah, bahkan negara. Mereka adalah kopi-kopi single origin, atau berasal dari satu daerah atau tempat. 
Metode seduh manual biasanya adalah cara yang paling tepat untuk mengolah kopi dari berbagai daerah ini. Kenapa? karena kopi single origin memilik citai rasa yang lebih kaya dibandingkan kopi house blend yang diperuntukkan untuk kebutuhan membuat campuran kopi dan susu (caffe latte, capucinno, etc)

Sudah Terlalu Tua untuk Officer Development Program



Saya membuka instagram dan mulai menelusuri akun pemberi informasi mengenai lowongan kerja. Sejumlah Bank ternama Indonesia sedang mencari fresh graduate untuk program penerimaan karyawan milik mereka yang disebut ODP (Officer Development Program). Sebuah notifikasi LinkedIn masuk, hanya pemberitahuan tentang teman baru di akun saya. Saya kemudian scrolling-scrolling LinkedIn dan membuka profile teman lama yang sekarang berkarir di Bank dan dulu masuk melalui ODP. Teringat kembali dua tahun lalu saat saya akhirnya lulus kuliah.

Menjadi Social Media Specialist


Barangkali ada sepuluh kali lebih cita-cita saya berubah.

Dulu banget waktu pindah dari Lampung ke Batam dan sementara tinggal di hotel. Saya merasa iri dengan orang-orang yang bekerja di hotel. Berpikir "kok enak sih" pikiran anak umur 5 tahun, dikira itu pada tinggal di hotel juga kali. Padahal mah kerja. Dari situ tiap kali ditanya cita-cita saya apa. Saya bilang pengin punya hotel. Wah jumawa sekali emang punya hotel kayak beli mainan, yaa namanya juga anak kecil.

Kenalan dengan Social Media Specialist

Photo by Erik Lucatero on Unsplash

Apakah kamu pengguna sosial media aktif? Berapa kali dalam sehari kalian membuka akun sosial media kalian? Kalau saya, saya sudah susah hidup tanpa Instagram. Jujur saja saya sudah mencoba berkali-kali uninstall Instagram, sampai pernah deactactive akun juga tapi, tidak berhasil. Tetap aja log in lagi.

Tentang Michael Buble




And in this crazy life
And through these crazy times
It's you, it's you
You make me sing
You're every line
You're every word
You're everything
Malam itu setelah pulang dari Lokus untuk mengambil kopi, saya menyeduhnya di kost-an. Sembari menyesap perlahan saya buka instagram. Sedang asik scrolling-scrolling tiba-tiba sebuah postingan mengagetkan saya "Michael Buble quits music" kira-kira intinya Michael Buble akan pensiun dari dunia musik, penyebabnya karena ingin fokus pada kesehatan anaknya (Michael Bublé QUITS music following heartache over son Noah's 'life-changing' cancer battle as he reveals he is done with fame in final interview)

Sungguh saya patah hati. Michael Buble adalah idola yang mana konsernya ingin sekali saya lihat namun saat ia ke Indonesia pada tahun 2015 saya harus melewatkan karena sedang tidak punya duit terlebih lagi waktu itu skripsi belum selesai. Masih ada beban. Saya enggak menyangka itu mungkin akan menjadi konser pertama dan terakhirnya di Indonesia, yaa enggak tahu sih yaa kalau misalkan di usia 70 tahunnya dia mau bikin konser lagi.

Michael Buble dengan 'Everything' lebih dahulu mengisi hati ketimbang John Mayer 'Your Body is Wonderland' terus terang saja waktu SMA saya "sok menyukai musik berkelas" jadi dulu enggak mau dengerin musik k-pop-kpopan yang berujung pada "kemakan ucapan sendiri"
Tapi, balik lagi ke Michael Buble, saya bisa dengerin semua lagunya dari lagu yang emang lagunya dia sampai yang coveran atau lagu orang lain. Suaranya, musiknya, lagunya menjadi satu kesatuan dengan Michael Buble. Kalau dibilang die hard fans mah enggak juga, lha wong saya enggak pernah beli album fisiknya. Beruntung sekarang ada spotify ya saya dengerin dari sana aja. 

Sebagai fans Michael Buble yang menikmati suara, wajah, dan musiknya namun gak pernah beli albumnya apalagi nonton konsernya atau dapat dibilang saya fans abal-abal, tetap saja berita bahwa ia akan berhenti bermusik alias nyenyong bikin saya sedih. Lagu Everything tetap menjadi lagu paling manis yang saya tahu jika dinyanyikan untuk yang terkasih.

Terima kasih Michael karena sudah mengenalkan saya pada Jazz

Review Film : Aruna dan Lidahnya (2018)



"bukannya saya ya yang harusnya nanya, aadaa aapa ya sebenernya?"
 Salah satu line dalam film Aruna dan Lidahnya yang membuat saya tertawa cukup lama saat menonton film ini. Untuk ukuran film Indonesia di minggu ke-3 nya Aruna masih dapat bertahan di bioskop bersaing dengan film Hollywood seperti Venom (Tom Hardy) dan First Man (Ryan Reynolds) Tapi, kita juga tidak bisa menampik pesona Nicholas Saputra yang tampil cukup berbeda di film ini. Tentu saja pesona Cinta dan Rangga masih melekat pada diri Dian Sastro dan Nicholas Saputra sehingga menurut saya mereka berdua yang meningkatkan sisi komersial di film ini.

Terdapat beberapa product placement di film ini dengan eksekusi yang baik, maksudnya enggak bikin saya bete karena keliatan aneh atau "duh iklan banget sih"
Alasan utama saya menonton film ini selain karena pemeran utamanya juga karena hell-ya ini film tentang makanan lho dan jarang ada film Indonesia tentang makanan. Seingat saya sejauh ini Indonesia pernah memiliki film tentang makanan yaitu Tabula Rasa (2014) dan Red Cobex(2010)
Maka ketika ada film tentang makanan dan produksinya terlihat tidak main-main tentu saja saya jadi penasaran sama filmnya.

Film ini secara garis besar ceritanya 'onde-onde' banget. Spoiler dikit nih ya. Jadi Aruna ini kerja di NGO gitu kayaknya terus lagi dapet project harus investigasi tentang kasus flu burung di Surabaya, Madura, dan Pontianak. Di sela-sela kesibukan Aruna menginvestigasi dia sempetin tuh buat kulineran sama dua sahabatnya Bono dan Nad. Eh, tau-tau mantan rekan kerjanya (Faris) di NGO yang sekarang pindah kantor muncul dan ikut dalam project investigasi ini.
Faris sama Aruna tuh kayak naksir-naksir tapi sebel gitu dari dulu tapi gengsi mau ngaku. Sama kayak Bono (Nicholas Saputra) yang naksir Nad(Hannah Al-Rasyid) tapi malu-malu kucing.

Pada perjalanan kuliner sekaligus investigasi flu burung ini justru mereka jadi kebuka satu sama lain.
Ceritanya biasa banget, konfliknya juga receh. Tapi alasan kenapa kalian harus nonton film ini karena justru terkadang hidup emang gitu kan. Banyak hal receh yang jadi besar dalam hidup kita karena kita dramatis. Hidup emang drama kali! semua orang melakukan peran dalam dramanya masing-masing. Kalo kalian gak drama dalam satu masalah bukan berarti kalian gak bakalan drama buat masalah yang lain.

Skenario yang sederhana namun apik dan eksekusi yang memuaskan dari sutradara membuat saya bisa menikmati film ini seutuhnya walaupun Aruna, Faris,  suka gak jelas. Scene makan-makan yang bikin nelen liur berkali-kali karena ngiler! Sumpah deh itu bakmi kepiting menggoda banget.
Secara keseluruhan film ini menghibur sekali. Aktingnya mereka gak perlu diragukan lagi. Meskipun onde-onde banget endingnya, justru itu yang bikin saya senyum-senyum dan kepengin (belajar) masak setelah nonton film ini.