Kinanti Widiari's Portfolio

Kinanti Portfolio by Kinanti Widiari Lestari

Review Film : Love for Sale (2018)


Love for Sale: definisi ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya


Akhirnya nulis review film lagi setelah terakhir ngereview Filosofi Kopi 2 yang kebetulan rumah produksinya sama kayak film yang bakal saya review ini.

By the way kalian boleh skip baca ini sampai ke review filmnya aja kalau gak mau baca saya nyampah 


Curhatan sobat kismin

Awalnya pengin ngabisin saldo mtix aja (ini sombong apa sobat kismin sebenernya?) Enggak gitu, karena sebenernya dari kemarin-kemarin pengin nonton, cuma berasa masuk angin terus abis balik kantor. Ini hubungannya apa  sama ngabisin saldo mtix ya? 
Ya pokoknya pengin nonton tapi gak pengin keluar duit dan ternyata saldo mtix masih ada. Akan tetapi tiap mau nonton badan merongrong minta tidur. Dasar manusia jompo.

Berhubung tiap mau nonton sendirian selalu disergap males jadinya saya ngajakin teman yang satu kantor dengan saya.

Di suatu siang setelah makan siang mie ayam jamur saya tiba-tiba impulsif aja gitu di motor ngajakin dia nonton. Udah kayak ngajak gebetan nonton aja.



S: Fir tar sore nonton yuk, ajakin anak kantor yang lain apa ya?
F: Yuk, nonton apa ya enaknya mbak?
S: Apaan ya, Black Panther belum nonton sih
F: Yah aku gak suka tipikal filmnya.
S: Oh nonton ini aja Love for sale kayaknya rame deh di Twitter pada ngomongin 
F: Film Indonesia? tar aku liat trailernya dulu deh. Tapi boleh tuh.


Yaudah akhirnya setelah beberapa hari saya wacana pengin nonton kesampaian juga. Udah lama juga gak nonton, terakhir nonton Dilan sama Christine di Jogja dan sepanjang film dia udah gak sabar pengin keluar dari bioskop karena eneug gitu liat gombalan recehnya. Sementara saya yang tuwir ini berasa nostalgila nonton film itu . Tadinya mau review Dilan juga tapi ya berhubung wacana forever jadi nanti aja ya 

Drama sebelum beli tiket

Sesuai dengan rencana awal "mau pakai saldo mtix aja" 
masalahnya saldo mtix cuma cukup buat satu tiket, maka munculah ide bodoh Kinanti "Yaudah Fir nanti kamu beli dulu aja, terus aku beli lewat mtix"
Yang mana setelah kami mencoba hal tersebut tidak berhasil karena buat beli tiket di mtix itu harus maksimal 30 menit sebelum jam tayangnya 

Ketika Fira sudah memegang tiket di tangan dan saya masih mencoba membeli tiket yang gagal terus lewat ponsel, ada penonton lain yang membeli tiket di kursi sebelahnya dia. Jadi kami nonton gak sebelahan dong. Padahal serangkaian ide dodol tadi dirancang agar kami bisa duduk sebelahan meskipun beli tiket dengan cara yang berbeda.

Terus akhirnya gimana saya bisa nonton? Yaudah akhirnya beli tiket di bioskop deh dan kami duduk terpisah. 
Udah keluar duit buat nonton (kan tadinya mau pake sisa saldo mtix)
Eh, gak duduk sebelahan. Ya kan tau gitu tadi beli tiketnya dari kantor aja.
Kelar misuh-misuh dalam hatinya yaudah deh tuh masuk studio dan nonton filmnya.

Maafin ini prolognya udah panjang bener ya 

Review Filmnya 

Film ini dibuka dengan adegan Richard (Gading Marten) yang baru bangun tidur. Ceritanya Richard udah lama hidup sendirian tanpa pasangan, tanpa keluarga. Dia punya percetakan yang letaknya satu ruko sama tempat dia tinggal, alias tinggal turun ke bawah doang. Sosok Richard digambarkan sebagai orang yang gak peduli dengan apa kata orang selama dia nyaman gak masalah. 

Contohnya meskipun Richard mampu atau malah bisa dibilang kaya, dia gak mau tuh ngabisin duitnya buat beli mobil atau motor mahal. Dia lebih milih naik mobil tuanya ke mana-mana.
Di usianya yang gak muda lagi itu Richard juga hampir gak pernah jalan-jalan kecuali nonton bola sama teman-teman geng nobarnya. Dia tinggal di ruko miliknya bersama seekor kura-kura bernama Klun. 
Sebagai seorang bos Richard termasuk bos yang gak asik banget. Masalah jam makan siang aja dia bisa marahin karyawannya karena telat balik ke kantor setelah makan siang.

Kejombloannya yang udah terlalu lama itu membuat teman-teman nobarnya ini menantang dia untuk membawa pacarnya di acara nikahan salah satu teman mereka. 
Kehabisan akal harus ngajakin siapa untuk datang ke nikahan temannya ini, akhirnya Richard menemukan aplikasi kencan yang dapat membuat kontrak kencan selama waktu yang ia butuhkan.

Arini (Della Dartyan) menjadi pilihan teman kencan Richard untuk acara pernikahan temannya tersebut. Arini ini bisa dibilang sosok yang dicari sama Richard. Tipikal yang bisa manjain Richard tapi juga punya pemikiran yang bikin Richard kagum. Sosok isteri yang masakin tiap pagi, dan ngingetin makan siang, tapi juga bisa diajakin debat soal bola yang mana itu adalah olahraga kesukaan Richard. 

Awalnya sih Richard biasa aja, tapi ya lama-lama luluh juga sama sosok Arini yang menurut dia udah pas sama dia. Setelah bertahun-tahun dia gak bisa lupain mantannya, sekarang ada Arini yang bikin hidup Richard lebih berwarna. 
Biasanya dia sering ngomelin karyawan percetakan miliknya, sekarang malah karyawannya disuruh datang siang, atau disuruh makan siang lebih awal. Namanya orang jatuh cinta mah jadi berubah lebih baik ke semua orang soalnya hatinya lagi berbunga-bunga, gitu yang dialamin sama Richard.

Akting Gading Marten di sini asli keren sih. Sebagai pria berumur 40an dan udah hampir gak peduli sama kehidupan, Gading bisa memproyeksikan sosok Richard dengan baik. Karakter Richard ini realistis sekaligus puitis, meskipun menurut saya puisi yang dia bikin gak puitis 
Bukan tipikal cowok  seperti Fachri yang bakal digila-gilai perempuan, tapi semakin kamu mengenal akan semakin bikin kamu suka (apaan sih  )

Arini diperankan dengan baik oleh Della Dartyan. Menurut saya tidak ada kecanggungan dalam aktingnya meskipun ini debut film pertamanya. Ia dapat meyakinkan penonton bahwa Arini adalah sosok gadis desa yang merantau ke Ibu Kota untuk mengadu nasib. Waktu dia nangis juga gak bikin saya bergidik jijai tapi malah iba. Kan ada tuh ya akting yang kerasa banget nangis boongannya sampe bikin males.

Ada bloopers di film ini seperti saat Richard pergi untuk makan siang dengan Panji. Saat pulang dari Cafe, Ia melewati sekolah lamanya dan latar langitnya sudah gelap membuat saya berasumsi bahwa latar waktu saat itu sudah sore menjelang malam, eh tapi pas sampai ke percetakannya suasana balik lagi ke siang. Hal tersebut bisa dimaafkan melihat filmnya disampaikan dengan baik oleh aktor-aktornya. 

Karakter yang kuat mewarnai film ini. Seperti Adriano Qalbi sebagai Jaka yang tukang makan soalnya tiap scene pasti dia lagi makan melulu. Melisa Karim yang muncul selewatan doang tapi menggambarkan pelanggan yang mesennya gak seberapa, tapi sok akrab demi minta diskonan.

Bagaimana dengan adegan sexnya?

Oke, jadi filmnya memang mendapat rate 21+ dan bioskop emang lagi memperketat masalah usia nonton sampai-sampai ada mbak-mbak yang mau beli tiket Love for Sale ditolak soalnya gak bisa menunjukkan identitasnya yang sudah berusia 21 tahun lebih.
Bahkan saya yang usianya udah lebih banget dari 21 tahun aja masih ditanyain.

S: Love for Sale ya mbak, satu tiket aja.
Mbaknya : Maaf mbak umurnya berapa?

Saya langsung mikir "hadehh mbak emang gak keliatan muka saya tua gini apa" tapi tetep saya jawab sih.

S: 26 tahun mbak
Mbaknya : Boleh lihat kartu identitasnya mbak?
S:  (ngeluarin KTP) 

hmm berpikir positif aja mungkin emang wajah masih terlihat belia remaja kayak Agnes Monica di Pernikahan Dini.


Dini belia usiamu
ku tahu cinta belum saatnya
.....

Adegan sex di film ini membuat cerita terasa lebih realistis. Sex yang dilakukan Arini dan Richard membuat hubungan mereka terasa lebih dalam sehingga sex bukan lagi tujuan utama Richard dalam menjalin hubungan dengan Arini. Pada akhirnya dia ingin menikahi Arini bukan demi sex semata tapi karena merasakan apa itu cinta. Richard sendiri selama menjomblo tidak digambarkan sebagai pria yang doyan jajan atau gonta-ganti pacar. Maka ketika ia melakukannya dengan Arini membuat itu terasa sakral.

Saat akhirnya Richard akan melamar Arini. Ia merasa Arini adalah kombinasi yang ia cari selama ini. Mampu mengimbangi pemikirannya meskipun dengan gap usia yang jauh. Memanjakannya dan bisa manja-manjaan juga sama Richard. Ia dapat menjadi sosok ibu, isteri, dan teman sekaligus untuk Richard. 

21+

Ada batasan usia minimal untuk menonton film ini. Bukan hanya karena film ini ada adegan sexnya. Tetapi juga butuh kedewasaan untuk memahami film ini. Film ini bukan tentang percintaan yang dibumbui gombalan seperti film Dilan 1990. 
Film ini juga bukan tentang Relationship Goals seperti film Critical Eleven.

Film ini menunjukkan bagaimana kesepian bisa merubah seseorang dan ketika jatuh cinta ia bisa jadi pribadi yang berbeda. Bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa ada orang lain, karena manusia butuh tempat untuk berbagi cerita. Terkadang kita punya teman, sahabat tapi kita tidak bisa berbagi keintiman. 

Love for Sale menggambarkan bagaimana ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Dan bagaimana keyakinan Richard terhadap cintanya pada Arini sehingga mau mengorbankan apa saja. Menjalani cinta memang tidak mudah tetapi dengan adanya cinta hidup kita dapat terasa lebih greget. Hal tersebut ditunjukkan di film ini. Perubahan hidup Richard dari yang statis menjadi dinamis dan keputusannya meninggalkan masa lalu demi mengejar Arini karena pada akhirnya Richard menemukan arti yang ia cari selama ini. 

Saya rasa film ini wajib ditonton oleh khalayak yang berusia di atas 21 tahun, yang sudah lama menjomblo, ataupun yang sudah berpasangan. Film ini akan memperlihatkan cinta dari sisi yang berbeda.

Nilai : 8/10

6 comments

  1. Karna penasaran itu link di bio apa, yaudah tak klik. Trs jadi tau apa maksud dr film love for sale deh. Marketing nya oke mayan jg ����

    ReplyDelete
  2. Endingnya tapi aneh banget Ki, si Arini menghilang entah ke mana pas si Richart itu udah jatuh cinta.

    Settingan semua cerita arini pas jalan hidup sama Richard, kayak temen2 dan keluarganya. Ku kira endingnya nanti Richard bakal keteme Arini lagi dan ada penjelasan kenapa keluarga dan teman2nya itu settingan.

    Tapi yah gitu, berakhir dengan dengan si Richard yang entahh nyari Arini ke Pacitan dan entah apakah ketemu apa enggak cuman penulis skenario dan Tuhan yang tahu

    ReplyDelete